Rabu, 18 Oktober 2017

HEARTACHE



Memang, penyesalan akan datang pada akhir sebuah cerita.  Dan aku merasakan hal itu, menyesal telah membiarkan dia pergi dengan penuh rasa kecewa.


-Jakarta, 22 januari 2018-
“Mah, Hujan mah kita lupa tidak bawa payung”
Teriakan anak kecil di pojok kedai sukses membuyarkan konsentrasi, aku melihat ke luar jendela, semua orang berlarian untuk mencari tempat berteduh.  Hujan, entah sejak kapan aku menyukai hujan yang turun  dari langit itu. Mungkin sejak kau bilang bahwa hujan itu sangat menenangkan. Alunan musik yang lembut membuat suasana kedai kopi ini menjadi sendu, mengajak jiwa dan perasaan ini kembali ke masa lalu. Masa dimana ada kau di sana, dengan semua canda dan tawa yang kau berikan. Hah, jujur sungguh aku tidak ingin mengingat itu semua, tapi kau terlalu indah untuk di lupakan.

-Jakarta, 1 febuari 2017-

“jangan manja ih, cepet  jalan!”
“ya aku kan capek di, masa kamu tega sih biarin aku capek gitu. Naik motor aja ya”
“engga engga, abang nasi gorengnya juga deket ko di depan gang doang”
“ih yaudah kalo aku capek gendong ya”
“yeeuu, sadar dong badan kamu kaya gimana”

Malam itu sangat indah, bulan sabit terpancar jelas di langit malam bersama beberapa bintang yang mendapinginya. Sungguh aku ingin menggapainya satu untuk laki-laki yang sedang duduk di hadapan ku sambil memesan nasi goreng .
“nasinya dua ya mas heru,  pedesnya sedeng aja dua-duanya tapi yang satu kecapnya banyakin dan enggak pake tomat”
“siap mas”
Aldi benar-benar tahu aku sangat baik. Entah bagaimana akhirnya hingga aku jatuh hati padanya. Aldi tidak tampan seperti kebanyakan laki-laki pada zaman itu, Aldi tidak memiliki harta melimpah seperti impian para wanita pada saat itu. Ia bergaya sesukanya, dengan rambut yang berantakan dan sedikit gondrong ia menunjukan sisi yang lain dari laki-laki biasanya.

“kamu kapan mau cukur kumis sama jenggot? Udah lebat nih” kataku sambil memegang rambutnya yang sedikit sudah panjang menurutnya
“ga mau! Biar kaya Zayn Malik haha” jawabnya sambil mejauhkan kepalanya dari tangan ku
“dih, sok ganteng” ujar ku sambil menjauh darinya.
Tidak banyak yang bisa ia beri kepada ku, tapi entah mengapa kesederhanaan itu yang membuat ku bersyukur telah mendapatkannya.

“mas Aldi, nih nasinya”
suara mas heru membuat Aldi menatap penuh harap padaku
“kamukan yang bayar?”  tanya Aldi
“lah katanya kamu mau bayarin?”  ujar aku dengan muka bingung
“uang aku ketinggalan di rumah kamu”
katanya sambil memeriksa kantong celananya yang sudah kupastikan tidak ada apa-apa di sana
“huh bilang aja minta bayarin sama aku pake sok sok ketinggalan”
“ih cantik deh kalo lagi marah”
“diem ah!”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 “aaahh, hati hati bang  kalo jalan”
Suara teriakan dari luar kedai kopi membuat kegiatan untuk mengingat Aldi terhenti sejenak
Hujan semakin deras, jam dinding di sisi kanan kedai sudah menunjukan pukul 20:00 WIB. Kedai kopi akan tutup tiga jam lagi, tugas akhir belum selesai dan masih terhambat oleh kenangan-kenangan manis dari Aldi. Tidak banyak memang kenangan tentangnya, tapi terlalu indah jika tidak di ceritakan.
 Pertemuan kami dimulai sejak reuni SMP di sebuah tempat makan, memang aku dan Aldi dahulu satu SMP di salah satu SMP Negri Jakarta, Aldi yang  dahulu ku kenal selalu memberikan guyonan kepada kami. Ternyata sampai detik itu ia masih memberikan guyonannya kepada kami.
ah dia ga berubah ternyata”
Gumam ku dalam hati
Sungguh tidak pernah terlintas dalam fikiran bahwa aku akan jatuh hati padanya hingga seperti ini.
“Linda, gimana kuliahnya? Lancar?”
Aldi melontarkan pertanyaan yang klasik pada ku
“lancar Alhamdulillah”
“weh anak Univ Islam gitu ya harus ada Alhamdulillah di akhirnya”
“hahahaha iya lah biar lancar terus”
“amiiinnn, biar lancar juga ya sama guenya”
“aminin aja deh ya di, kali aja kita jodoh beneran”
“asik dapet jodoh”
“isi bensin dulu biar lancar tapinya”
“seelooww bossquh
Dimulai dari bercandaan itulah kami mulai bertukar guyonan dan merasa nyaman satu sama lain.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 -Jakarta, 13 Mei 2017-

“Linda, kita sebenernya temanan apa gimana sih ? ko aku ngerasa kita lebih ya dari itu” tanya Aldi pada ku malam itu
“hhmmm iya apa?” jawab ku sembari garuk kepala yang tidak gatal sama sekali
“gini aja deh, besok aku tembak kamu ya. Kamu siapin dulu jawaban yang bagus biar kalo di ceritain ke temen-temen mereka bisa iri aku dapetin kamu”
“kenapa besok dah? Kenapa ga sekarang aja?”
“gapapa besok aja, aku suka tanggalnya 14”
“ih apa hubungannya juga jawaban aku ke temen-temen kamu?”
“kan mereka jomblo semua, nanti kalo aku ceritain mereka jadi mau punya pacar. Biar kalo tidur engga aku lagi yang di pelukin sama mereka”
“hahahah bisa aja di”
“pokoknya besok kita jadian ya ndaa”
“ndaa? Biasanya manggil Lin, Linda”
“iya panggilan kesayangan, kan udah mau jadian hahaha”
“aih dasar gombal”
“udah ya aku mau tidur, jadi romantis menguras banyak tenaga ternyata”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aahhh, air mata ini tidak kuat berada di tempatnya. Mereka ingin keluar untuk mengungkapkan betapa rindunya diriku akan hari itu, hari yang membuat hatiku tak berhenti berbunga.

“tisyu?”
Pelayan laki-laki kedai kopi menawarkan selembar tisyu kepada ku
“ah terima kasih”
Jawab ku sambil menerima tisyu yang diberinya
“memang kalo lagi hujan dan sepi gini saya juga sering keinget hal-hal yang seharusnya sudah saya lupakan” kata pelayan yang bertuliskan Dhika di Id pengenalnya.
“haha iyaya mas” jawabku sambil mencoba untuk tersenyum
“hujan emang suka bawa kita mengingat kenangan yang indah mba, selama ini sih saya perhatiin banyak yang galau di kedai sini kalo lagi hujan” katanya sambil menarik kursi di depan ku, berniat untuk duduk di sana.
“mas udah lama kerja di sini?” tanya ku kepada pelayan laki laki tersebut, hanya sekedar intermezo agar tidak membahas mengapa aku menangis di sini
“engga lama banget mba, saya Part time soalnya” katanya sambil memberi tisyu lagi kepada ku
“part time?” tanyaku seolah mendengar sesuatu yang tidak asing.
Mendengar kata itu membuat aku mengingat betapa semangatnya Aldi mencari pekerjaan paruh waktu atau Part Time hanya untuk menambahkan uang  jajan
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“kalo Part Time kan megang duit ndaa, jadi mau beli sepatu baru ga minta mama”
“tapi emang kamu ga cape apa? Sabtu Minggu seharusnya istirahat dirumah” tanyaku pada Aldi, seolah khawatir bila ia ikut kerja paruh waktu.
“capek sih ndaa tapikan ada kamu yang mijitin jadi ga capek lagi” jawabnya sambil melemparkan senyum konyolnya kepada ku. Jujur aku rindu senyum itu.
“ih aku nanya beneran di, Kuliah kamu terus gimana coba kalo Part time?”
“jangan bawel ah, laki-laki harus berani ga boleh lemah.  Part Time belom ada apa-apanya ko, kuliah mah gampang”
“jangan di gampangin kuliahnya, mama juga kan bayarin kuliah biar kamu cepet lulus”
“tenang aja bossquh, kuliah pasti selesai”
Aldi tersenyum seakan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja dengan keadaan yang sekarang ia alami, aku tahu berat pastinya tapi semangat yang ia berikan kepada orang-orang terdekatnya membuat semua orang berfikir bahwa hidup yang di jalani Aldi semuanya baik-baik saja.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“mba”
Suara pelayan itu kembali membuat aku sadar bahwa air mataku terus jatuh dari tempatnya, seakan membuktikan bahwa keberadaan Aldi adalah hal yang paling indah dalam hidup ku.
“tisyunya kurang ya?”
Tanya pelayan tersebut kepada ku
“ah engga ko mas ini sudah cukup”
“baiklah kalo gitu saya permisi dulu ya mba, kayanya mba bener-bener butuh waktu sendiri” kata pekerja paruh waktu yang mengaku bernama Dhika sambil berdiri dari tempat duduknya
“iya mas, makasih ya tisyunya”
“iya sama-sama mba, sudah tugas saya seperti itu”
Pelayan itu pergi meninggalkan kursi yang kosong didepan ku, melihatnya berjalan dari belakang membuat ku rindu akan punggung Aldi yang cukup lebar. Rambutnya yang sedikit berantakan mengingatkan ku pada rambut Aldi yang entah sudah berapa kali ku katakan agar segera mencukur rambutnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Aldi, ini rambut cukur kenapa di” kataku sambil menjambak rabutnya
“aaaahh! kenapa sih ndaa, kalo ga suka aku gondrong yaudah jangan sama aku” jawabnya kesal
“ih gitu aja baper, aku Cuma nyuruh doang kalo ga mau cukur yaudah gapapa” sahutku datar
“ga boleh ndaa sama mama” katanya sambil mengambil segelas air putih di meja
“kenapa ga boleh coba aku tanya?” tanyaku dengan muka yang penasaran
“lah mana aku tau, kamu coba sana tanya sama kanjeng mami, aku mah nurut aja biar masuk surga” jawab Aldi sembari menuangkan  air putih untuk ku.
“mau masuk surga harus solat juga di” mataku terus mengikuti pergerakan tangannya yang sibuk menuangkan air untuk ku
“ih iya baweeell” katanya sambil memberi air putih padaku
“aku bawel jugakan sayang kamu di” aku mengambil dan meminum air yang diberinya.
“huh gemes, sini coba peluk”
Memang Aldi bukan laki-laki yang romantis, bukan laki-laki yang akan selalu memuji pasangannya dengan kata-kata yang manis. Tapi Aldi mempunyai caranya sendiri untuk mengungkapkan rasa cintanya pada orang-orang yang ia sayangi.


Mata ku terus menatap keluar jendela dari dalam kedai kopi yang sama, Tanganku seolah tergerak untuk membuka celah jendela, mendegarkan suara hujan yang membuat banjir perasaan ini. halte bus yang awalnya sepi sekarang sudah mulai ramai. Satu persatu manusia menumpang untuk berteduh dari air yang turun dari langit malam. Tak sedikit pasangan yang berteduh hanya sekedar berbincang ringan di bawah atap halte yang tidak begitu besar. Terlihat sepasang kekasih yang sedang asik bercanda hingga tertawa terbahak-bahak sedikit mengganggu peneduh lain, terlihat jelas dari raut muka mereka yang memandang sengit ke arah pasangan yang sedang tertawa. Ku lirik jam dinding di sisi kanan kedai lagi, jam menunjukan pukul 21:00 WIB tandanya kedai ini akan tutup dua jam lagi.
Hujan yang awalnya tenang berubah menjadi sedikit liar, petir dan suara gemuruh di langit mulai terdengar seakan menamparku ketika bersamaan mengingat saat itu, saat dimana aku mulai mengkhianati cinta tulus Aldi yang tidak bisa ku pertahankan.

-Jakarta, 5 September 2017-
“Aldi, kamu beda. Kamu berubah” kataku membuka mulut untuk kesenyian yang sudah terjadi selama 30 menit
“kamu kenapa sih ndaa, akhir-akhir ini beda sama aku. Aku ada salah sama kamu?”
Tanya Aldi dengan penuh perasaan cemas
“kamu beda, aku ga suka. Aku capek di, kamu ga pernah ngertiin aku, aku yang selalu ngertiin kamu.kamu cuek”
Jawab ku dengan suara yang lantang.
 Tentu tidak, Aldi tidak berubah. Akulah yang berubah, karena menemukan laki-laki lain disaat Aldi pergi. Aku yang memulai semua ini, aku memutar balikan fakta bahwa seakan Aldi yang salah. Jahat, sungguh betapa jahatnya aku saat itu.
“aku mau kita udahan, aku capek sama kamu” lanjut ku tanpa menatap wajah Aldi.
Aldi terdiam, aku tidak merasakan ada pergerakan dari tubuh maupun bibirnya. Sunyi kembali muncul hingga Aldi berdiri dan pergi tanpa kata-kata dari bibirnya. Ia meninggalkan ku dengan penuh pertanyaan di kepalanya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aaahh, sungguh aku tidak kuat dengan cerita ini. Air mataku tak ingin berhenti keluar, seolah menggambarkan betapa menyesalnya aku saat itu, bodoh. Mungkin aku akan masih bersamanya sekarang jika tidak melontarkan kata-kata itu. Aku terhanyut oleh cinta yang tidak baik, laki-laki itu datang begitu saja, entah apa yang ada difikiran ku, mengapa aku rela meninggalkan Aldi yang sangat tulus demi laki-laki yang aku tidak tahu bagaimana cintanya untuk ku.
Malam itu menjadi malam yang menyakitkan bagiku, saat ia mengetahui yang sebenarnya dan mengutarakan kekecewaannya pada ku, sungguh aku tak kuat menahan rasa sakit yang ia alami karena ku. Tuhan, aku telah menyakiti perasaan tulusnya, aku telah menghancurkan kepercayaannya padaku.
Tangisku pecah di dalam kedai kopi, Andhika si pekerja paruh waktu menghampri ku
“mba, mba kenapa?” tanyanya cemas kepada ku
“A-aldi” jawab ku gugup
“mba, saya ambil air putih ya” katanya berniat mengambilkan ku air
“engga usah mas, makasih.” Kataku pelan
“mba beneran gapapa?” lanjut Andhika
“iya mas” jawab ku sambil memegang dada yang terasa perih. Tidak, tidak berdarah, tidak ada luka yang terlihat di sana. Tapi entah, hanya terasa perih yang amat dalam, mengingat bagaimana raut wajah Aldi saat bilang bahwa ia sangat kecewa dengan ku.

Aku mencoba untuk duduk dengan tegap, menghelakan nafas dan menghapus air mata ku. Ku lihat sekitar kedai sudah sepi, hanya ada aku dan Andhika si pekerja paruh waktu. Ku lihat jam dinding di sisi kanan kedai untuk yang ke tiga kalinya, jam menunjukan pukul 21:45 WIB. Ku lihat Andhika sudah bersiap untuk menutup kedai kopi ini. Aku dengan cepat merapikan laptop dan kertas-kertas di atas meja.
“mba udah selesai?” tanya Dhika karena melihat aku bergegas merapihkan meja di depan ku
Aku balas dengan senyum yang berarti iya
“saya putar lagu terakhir ya mba, mungkin bisa balikin mood mba yang sedang basah seperti jalanan di luar” lanjut Dhika sembari memutar tape yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Akupun melanjutkan merapikan kertas-kertas di atas meja.  Menghiraukan dengan musik yang akan diputar oleh Andhika.

So they say that time
Takes away the pain
But I'm still the same oh yeah

And they say that I
Will find another you
That can't be true oh

Why didn't I realize?
Why did I tell lies?
Yeah I wish that I could do it again
Ooh Turnin' back the time
Back when you were mine

So this is heartache?
So this is heartache?
Hiroi atsumeta koukai wa,
Namida e to kawari oh baby
 

Aku terdiam, seperti setrum yang menjalar ke dalam tubuh ku. Lagu ini. Aldi. Semua tentang Aldi kembali berputar di dalam ingatan ku, pertanyaan-pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya mulai memadati fikiran ku.
Ku paksa tubuhku untuk beranjak dari kursi, berjalan menghampiri pintu keluar kedai kopi. Enggan meninggalkan kedai kopi, perasaan ku masih berada dalam alunan musik yang di putar Andhika.
Aldi, kau dimana sekarang? Dengan siapa? Bagaimana kabar mu? Masihkah kau kecewa dengan aku? Aku rindu rambut berantakan mu di, aku rindu senyum mu, aku rindu guyonan mu, aku rindu saat kau memanggil nama ku, Aldi apa yang sedang kau lakukan sekarang ? Aldi, aku rindu kamu.
Tanganku perlahan mendorong pintu untuk keluar dari kedai kopi, ku langkahkan kaki ku keluar dari kedai kopi itu. Keluar dengan perasaan yang masih tertinggal dalam alunan musik kesukaan Aldi, terima kasih Andhika telah membiarkan aku meluapkan semua kenangan di dalam kedai kopi itu. Terima kasih hujan telah membuatku sekali lagi mengingat tentang dirinya, terima kasih Tuhan telah memberi perasaan itu padaku. Terima Kasih Aldi telah membiarkan aku untuk mencintai mu. Maaf untuk segala kekecewaan yang aku berikan, aku pantas mendapatkankan semuanya. Penyesalan ini, perasaaan rindu ini, sakit ini. Aku pantas merasakan semuanya. Karena penyesalan akan datang di akhir cerita.


SELESAI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HEARTACHE

Memang, penyesalan akan datang pada akhir sebuah cerita.   Dan aku merasakan hal itu, menyesal telah membiarkan dia pergi dengan penuh ...